Risma Yulia Ananta
Seto Arum Asari
Rully Kharis
Haji adalah rukun Islam yang kelima yang harus dilaksanakan oleh umat Islam yang mampu
secara fisik, mental, dan finansial. Ibadah ini memiliki keunggulan karena dilakukan di Tanah
Suci Mekkah dan Madinah pada waktu-waktu khusus, mengikuti prosedur sesuai dengan
syariat Islam. Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, menjalankan ibadah haji merupakan
citacita serta puncak pencapaian spiritual yang memerlukan persiapan yang matang dan
pengeluaran yang cukup besar.
Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan ibadah haji, pemerintah Indonesia terus
menghadirkan berbagai inovasi serta perbaikan layanan, baik dari aspek keberangkatan,
akomodasi, maupun kepulangan jemaah. Salah satu inovasi signifikan yang diciptakan adalah
pemberian fasilitas penghapusan bea masuk dan pajak impor (PDRI) untuk barang kiriman
milik jemaah haji dari Arab Saudi ke Indonesia.
Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 4 Tahun 2025, dan
mulai diterapkan efektif pada 5 Maret 2025. Dengan kebijakan ini, Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menawarkan kemudahan fiskal berupa penghapusan
bea masuk dan PDRI bagi jemaah haji yang mengirim barang pribadi dari Arab Saudi ke
Indonesia. Inisiatif ini tidak hanya mempermudah proses administrasi, tetapi juga mengurangi
beban biaya bagi para jemaah, yang selama ini sering mengeluhkan tingginya biaya tambahan
saat membawa oleh-oleh atau barang pribadi melalui jalur kargo.
Sebelum diberlakukannya aturan pembebasan bea masuk bagi barang kiriman jamaah haji
(PMK Nomor 4 Tahun 2025), ketentuan mengenai barang bawaan dan kiriman jamaah haji
diatur dalam regulasi umum tentang impor barang oleh penumpang, yaitu Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 203/PMK.04/2017. Yang sebelumnya prosedur administrasi
dilakukan dengan cara pemberitahuan pabean tertulis dan procedural. Dan kini bisa dilakukan
secara lisan. Dengan pemeriksaan barang mulai dari pemeriksaan secara fisik saat kedatangan
jika ada kecurigaan, hingga berubah menjadi pemeriksaan menggunakan HI Co X-Ray sejak
keberangkatan untuk mempercepat proses, ini juga memberikan keefisienan terhadap
prosedurnya, lebih mudan juga dipahami oleh jamaah haji karena lebih komplek dari pada
peraturan lama.
Tiap tahun, Indonesia mengirim lebih dari 200 ribu jemaah untuk melaksanakan ibadah haji di
Arab Saudi. Di antara kegiatan ibadah, jamaah biasanya juga memanfaatkan waktu untuk
membeli oleh-oleh khas Tanah Suci seperti kurma, air zamzam, sajadah, tasbih, parfum, hingga
barang elektronik mini.
Akan tetapi, batasan bagasi dan larangan membawa sejumlah barang tertentu di pesawat
mengakibatkan banyak jemaah harus mengirim barang-barang itu melalui layanan pengiriman.
Dalam aturan sebelumnya, barang yang dikirim dari luar negeri dengan nilai lebih dari USD 3
per kiriman akan dikenakan bea masuk dan PDRI. Kebijakan ini jelas memberatkan, mengingat
banyak jemaah telah mengeluarkan biaya tinggi untuk keperluan ibadah haji.
Pemerintah menyadari bahwa ibadah haji bukan sekadar perjalanan spiritual, tetapi juga
momentum emosional dan sosial. Oleh karena itu, pemberian fasilitas pembebasan bea masuk
dipandang sebagai bentuk penghormatan dan dukungan pemerintah terhadap jemaah haji yang
telah menjalankan rukun Islam kelima.
Rincian Ketentuan dan Prosedur
Untuk mencegah penyalahgunaan fasilitas ini, pemerintah menetapkan sejumlah ketentuan
yang harus dipatuhi oleh para jemaah:
- Barang harus dimiliki dan digunakan oleh jemaah selama menjalankan ibadah haji.
- Barang tidak boleh digunakan untuk kegiatan komersial atau dijual kembali.
- Jumlah dan jenis barang harus dalam batas kewajaran serta tidak termasuk dalam daftar
barang larangan atau pembatasan. - Pengirim wajib menunjukkan bukti sebagai jemaah haji yang terdaftar secara resmi di
Kementerian Agama.
Verifikasi dan pengawasan terhadap barang kiriman akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai dengan bekerja sama dengan Kementerian Agama, perusahaan pengangkutan,
dan maskapai penerbangan. Setiap pengiriman akan dicocokkan dengan data jemaah dan
diperiksa jenis serta jumlah barang yang dikirim.
Kebijakan ini membawa banyak manfaat langsung, baik bagi jemaah maupun keluarga mereka
di Indonesia. Pertama, mengurangi beban finansial jemaah, terutama mereka yang sudah lanjut
usia dan lebih memilih mengirim barang lewat kargo karena tidak mampu membawa barang
banyak saat kepulangan.
Kedua, mempercepat proses pengeluaran barang di pelabuhan atau bandara, karena tidak perlu
lagi melalui prosedur pembayaran pajak atau bea tambahan yang seringkali memakan waktu
dan energi. Ketiga, meningkatkan kenyamanan dan rasa aman secara psikologis, karena jemaah
tahu bahwa barang mereka akan sampai ke rumah tanpa terkena pungutan tambahan yang tak
terduga.
Sementara bagi keluarga di tanah air, mereka tidak lagi harus menanggung biaya tambahan atau
menghadapi risiko barang tertahan di bea cukai. Hal ini tentu mempererat hubungan emosional
dan menciptakan kepuasan terhadap pelayanan haji nasional yang semakin baik.
Walaupun kebijakan ini positif, pemerintah tetap menekankan pentingnya pengawasan untuk
mencegah potensi penyalahgunaan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan melakukan
pemeriksaan menyeluruh terhadap barang kiriman yang dicurigai melebihi batas kewajaran
atau digunakan untuk tujuan komersial.
Apabila ditemukan pelanggaran, barang akan dikenakan bea masuk dan pajak sesuai aturan
yang berlaku. Bahkan, dalam kasus berat, barang dapat disita dan pelakunya bisa dikenakan
sanksi administratif hingga pidana. Pemerintah juga mengimbau jemaah untuk tidak
menitipkan barang kepada pihak yang tidak dikenal atau membawa barang dalam jumlah besar
yang tidak masuk akal sebagai kebutuhan pribadi.
Kebijakan ini merupakan hasil koordinasi antara beberapa instansi pemerintah, yaitu
Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, dan Kementerian Perhubungan, serta didukung
oleh maskapai penerbangan nasional dan perusahaan logistik. Pemerintah Arab Saudi pun
memberikan dukungan dengan menyediakan kemudahan proses pengiriman barang milik
jemaah dari Indonesia.
Kebijakan pembebasan bea masuk atas barang kiriman jemaah haji adalah bentuk konkret dari
perhatian dan keberpihakan pemerintah kepada umat Islam yang menunaikan ibadah haji.
Lebih dari sekadar insentif fiskal, kebijakan ini menunjukkan bahwa negara hadir dalam setiap
aspek penting kehidupan rakyat, termasuk dalam urusan ibadah.
Diharapkan kebijakan ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi menjadi bagian dari reformasi
berkelanjutan dalam sistem pelayanan haji nasional. Dengan demikian, pelayanan haji ke depan
tidak hanya fokus pada aspek ibadah, tetapi juga memberikan perlindungan, kemudahan, dan
kenyamanan secara menyeluruh bagi seluruh jemaah Indonesia.