Oleh: Erysha Rivera Putri Ermansyah
Novelia Fitriani
Editor: Dian Enggal Wulandari
Royalti musik merupakan salah satu sumber pendapatan bagi musisi sebagai bentuk penghargaan atas karya mereka. Di Indonesia, mekanisme pengelolaan royalti diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta dan dilaksanakan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun, implementasinya masih menimbulkan berbagai permasalahan, khususnya bagi musisi independen dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Bagi musisi, tantangan utama meliputi keterbatasan akses informasi, minimnya transparansi distribusi royalti, serta lemahnya perlindungan hak cipta yang menyebabkan potensi pendapatan mereka sering tidak terbayarkan. Sementara itu, pelaku UMKM yang menggunakan musik dalam kegiatan usaha seperti kafe, restoran kecil, dan toko seringkali merasa terbebani oleh kewajiban membayar royalti karena kurangnya sosialisasi, ketidakjelasan tarif, dan mekanisme pembayaran yang dianggap rumit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kendala utama dalam penerapan sistem royalti musik terhadap kedua pihak tersebut. Hasil kajian menunjukkan perlunya perbaikan sistem pendataan dan distribusi royalti yang lebih transparan, penyederhanaan proses pembayaran bagi pelaku UKM, serta peningkatan edukasi hukum hak cipta kepada para pemangku kepentingan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan tercipta ekosistem royalti yang lebih adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Industri Musik merupakan salah satu sektor kreatif yang memiliki kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan budaya di Indonesia. Karya yang diciptakan oleh para musisi bukan menjadi produk hiburan, namun aset yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu bentuk penghargaan atas karya tersebut adalah royalti, yakni kompensasi yang diberikan kepada pencipta, komposer, dan pemilik hak cipta tiap kali karya mereka dimanfaatkan secara komersial. Untuk menjamin perlindungan dan distribusi hak tersebut, pemerintah Indonesia telah mengatur mekanisme pengelolaan royalti melalui Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun, dalam praktiknya, sistem pengelolaan royalti musik di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan, khususnya bagi musisi independen dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bagi para musisi, permasalahan yang muncul antara lain kurangnya akses informasi mengenai prosedur pendaftaran dan penarikan royalti, minimnya transparansi dalam distribusi dana royalti, serta lemahnya perlindungan hak cipta yang mengakibatkan banyak karya mereka digunakan tanpa izin dan tanpa kompensasi yang layak.
Di sisi lain, pelaku UMKM yang memanfaatkan musik dalam kegiatan usaha mereka seperti kafe, restoran kecil, dan toko juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban pembayaran royalti. Kurangnya sosialisasi, ketidakjelasan tarif, dan mekanisme pembayaran yang dianggap rumit seringkali menimbulkan persepsi negatif bahwa pembayaran royalti merupakan beban tambahan bagi usaha kecil. Kondisi ini menciptakan ketimpangan antara perlindungan hak pencipta dan kemampuan pelaku usaha untuk mematuhi regulasi yang berlaku.
Ambiguitas mengenai pajak royalti musik di Indonesia menjadi salah satu isu yang memengaruhi keberlangsungan ekosistem industri kreatif, khususnya bagi musisi dan pelaku UMKM. Di satu sisi, royalti didefinisikan sebagai bentuk proteksi terhadap kekayaan intelektual yang berfungsi memberikan imbalan ekonomi kepada pencipta atau pemegang hak cipta ketika karya mereka digunakan untuk kepentingan komersial. Mekanisme ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan karya dan memberikan insentif agar para musisi terus berkarya. Namun di sisi lain, banyak pihak yang masih keliru menganggap royalti sebagai bentuk pajak, sehingga menimbulkan kebingungan dalam praktik pemungutan dan pelaporannya. Secara hukum, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menegaskan bahwa setiap penggunaan karya musik untuk tujuan komersial wajib membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak. Pemungutan dan distribusi royalti dilaksanakan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, sedangkan aspek teknis perizinannya diatur dalam Peraturan Menkumham Nomor 27 Tahun 2025. Meskipun demikian, dari perspektif perpajakan, royalti tetap diperlakukan sebagai objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dengan tarif efektif sekitar 6% (berdasarkan ketentuan Perdirjen Pajak No. PER-1/PJ/2023 untuk individu dengan metode NPPN). Dengan demikian, secara teoritis royalti bukanlah pajak, tetapi objek yang dapat dikenai pajak ketika diterima oleh pencipta. Ambiguitas ini menimbulkan dampak signifikan terhadap kesejahteraan musisi. Banyak musisi yang mengeluhkan minimnya transparansi pengelolaan dana royalti dan rendahnya nilai yang mereka terima, seperti yang dialami Ari Lasso, yang hanya menerima ratusan ribu rupiah dari puluhan juta rupiah dana penarikan royalti. Situasi ini diperburuk oleh kurangnya sosialisasi prosedur pendaftaran dan perhitungan royalti, sehingga sebagian pencipta belum mendaftarkan karyanya ke LMKN. Akibatnya, potensi pendapatan mereka berkurang, sementara beban pajak tetap dibebankan atas penghasilan royalti yang mereka peroleh, walaupun jumlah yang diterima jauh dari harapan. Hal ini menciptakan ketimpangan antara kewajiban pajak dan hak ekonomi musisi.
Di sisi lain, UMKM yang menggunakan musik dalam usahanya juga terdampak langsung oleh ambiguitas ini. Banyak pelaku usaha yang keliru menganggap pembayaran royalti sebagai pungutan pajak tambahan, padahal secara hukum keduanya berbeda. Kesalahpahaman ini memicu ketakutan untuk memutar musik di tempat usaha, seperti fenomena restoran dan kafe yang mematikan musik agar terhindar dari kewajiban membayar royalti. Kasus Mie Gacoan Bali yang dilaporkan LMK SELMI karena tidak membayar royalti, menegaskan bahwa ketidaktahuan terhadap mekanisme royalti dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan beban finansial besar. Kejadian semacam ini berpotensi menghambat pertumbuhan UMKM, karena menciptakan iklim usaha yang penuh ketidakpastian serta menurunkan daya tarik tempat usaha yang biasanya memanfaatkan musik untuk menarik pelanggan.
Ambiguitas ini pada akhirnya juga merugikan negara secara tidak langsung, karena royalti yang diterima musisi akan menjadi objek pajak penghasilan, sehingga jika pengelolaannya buruk dan musisi tidak memperoleh royalti semestinya, maka potensi penerimaan pajak negara juga berkurang. Di sisi lain, persepsi negatif terhadap kewajiban royalti membuat pelaku usaha enggan membayar, yang pada gilirannya menghambat siklus distribusi royalti dan melemahkan ekosistem industri kreatif nasional. Melihat kondisi ini, rapat konsultasi pada 21 Agustus 2025 yang melibatkan DPR RI, LMKN, perwakilan musisi, dan pelaku industri menjadi langkah penting. Kesepakatan yang dihasilkan—seperti pemusatan penarikan royalti di LMKN, audit transparan, revisi UU Hak Cipta, dan sosialisasi publik—diharapkan mampu menghilangkan ambiguitas antara royalti dan pajak, sehingga tercipta kejelasan hak dan kewajiban bagi musisi maupun UMKM. Transparansi pengelolaan royalti juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan musisi, sementara sosialisasi yang masif akan meningkatkan pemahaman pelaku usaha mengenai pentingnya membayar royalti bukan sebagai pajak, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap hak kekayaan intelektual.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ambiguitas pajak royalti musik merupakan masalah struktural yang berdampak langsung pada kesejahteraan musisi, keberlangsungan UMKM, dan potensi penerimaan negara. Solusi yang diperlukan bukan hanya perbaikan regulasi, tetapi juga penegasan konsep bahwa royalti adalah hak ekonomi, bukan pajak, serta peningkatan tata kelola dan transparansi distribusi royalti agar dapat menciptakan ekosistem kreatif yang adil, berkelanjutan, dan menyejahterakan semua pihak yang terlibat.
