KETENTUAN PEMBUATAN BUKTI PEMOTONGAN (BUPOT) PPH PASAL 21/26 BERDASARKAN PER-11/PJ/2025

Rika Yuniar Arief

Inayah Mawar Triyanti

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan Peraturan PER-11/PJ/2025 yang mengatur

ketentuan teknis mengenai pembuatan Bukti Pemotongan (Bupot) PPh Pasal 21/26 yang harus

dilakukan oleh pihak pemotong pajak. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kejelasan dan

kepastian hukum bagi pemotong dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, khususnya

dalam membuat, menyerahkan, dan melaporkan bukti pemotongan pajak atas penghasilan yang

dibayarkan kepada penerima penghasilan orang pribadi.

Kewajiban Pemotong PPh Pasal 21/26

Pemotong PPh Pasal 21/26 yang melakukan pemotongan atas penghasilan sehubungan dengan

pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi wajib melakukan tiga hal pokok. Pertama, membuat

Bukti Pemotongan PPh Pasal 21/26 setiap kali melakukan pemotongan. Kedua, menyerahkan

Bupot tersebut kepada pihak yang dipotong sebagai bukti resmi pemotongan pajak. Ketiga,

melaporkan Bupot yang telah dibuat kepada DJP melalui SPT Masa PPh Pasal 21/26. Ketiga

kewajiban ini harus dilaksanakan secara berurutan untuk memastikan kepatuhan administratif

dan pelaporan pajak yang benar.

Penggunaan NPWP dan NITKU Pemotong Pajak

Setiap pemotong PPh Pasal 21/26 diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP) dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) dalam setiap Bupot yang

dibuat. Jika pemotong memiliki beberapa lokasi kegiatan usaha yang terpisah dari tempat

kedudukan utama, maka NITKU yang digunakan adalah NITKU dari unit usaha yang secara

administratif mengelola pembayaran penghasilan. Tujuannya adalah agar pelaporan pajak

dilakukan dengan tepat sesuai lokasi administrasi pembayaran, bukan hanya berdasarkan alamat

kantor pusat.

Lokasi Administrasi Pembayaran Penghasilan

PER-11/PJ/2025 menetapkan bahwa lokasi administrasi pembayaran yang digunakan untuk

menentukan NITKU adalah salah satu dari tiga tempat berikut: pertama, tempat penerima

penghasilan melaksanakan kegiatan; kedua, tempat penerima penghasilan terdaftar sebagai

pegawai; atau ketiga, tempat kontrak kerja ditandatangani. Dengan ketentuan ini, diharapkan

tidak terjadi kebingungan dalam menentukan di mana pemotongan pajak harus dicatat dan

dilaporkan.Jenis Bukti Potong yang Harus Dibuat

a) BP-A1 (Bukti Potong Pegawai Tetap/Pensiunan Berkala)

Bukti Potong BP-A1 dibuat untuk pegawai tetap atau pensiunan yang menerima penghasilan

secara berkala. Bupot ini dibuat untuk masa pajak terakhir bulan Desember, masa pajak pegawai

berhenti bekerja, masa pajak ketika pegawai meninggal dunia, atau masa pajak terakhir

pensiunan berhenti menerima penghasilan. Pembuatan Bupot ini bertujuan memastikan bahwa

seluruh penghasilan tahunan pegawai tetap atau pensiunan telah tercatat dengan benar.

b) BP-A2 (Bukti Potong PNS/TNI/POLRI/Pensiunannya)

BP-A2 dibuat untuk pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI, atau pensiunannya. Sama seperti

BP-A1, BP-A2 dibuat pada masa pajak terakhir bulan Desember, masa pajak pegawai berhenti

bekerja, masa pajak pegawai meninggal dunia, atau masa pajak pensiunan berhenti menerima

penghasilan. Pembuatan Bupot ini memastikan keakuratan catatan pemotongan pajak atas

penghasilan dari instansi pemerintah kepada aparatur sipil negara atau pensiunannya.

c) BP-21 (Bukti Potong PPh 21 Tidak Final)

BP-21 dibuat untuk pemotongan PPh 21 yang bersifat tidak final dan bukan bagian dari PPh 21

final. Bupot ini dibuat setiap kali terjadi transaksi pemotongan atau setidaknya satu kali setiap

masa pajak. Pembuatan Bupot BP-21 sangat penting karena penghasilan yang tidak final masih

perlu diperhitungkan dalam penghitungan PPh tahunan wajib pajak orang pribadi.

d) BP-26 (Bukti Potong PPh 26)

BP-26 diperuntukkan untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima oleh wajib

pajak luar negeri dengan tarif sesuai Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Bupot ini juga

dibuat setiap kali terjadi transaksi atau setidaknya setiap masa pajak. BP-26 menjadi dokumen

penting sebagai bukti pemotongan pajak penghasilan bagi pihak luar negeri.

Ketentuan Seputar Penerbitan Bukti Potong

Bupot tidak perlu dibuat apabila tidak ada pembayaran penghasilan, sehingga pemotong hanya

wajib membuat Bukti Potong pada saat ada pembayaran penghasilan yang memang

menimbulkan kewajiban pemotongan pajak. Namun, Bukti Potong tetap harus dibuat jika:

pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan karena jumlah penghasilan bruto melebihi penghasilan

tidak kena pajak (PTKP),jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong tidak nihil, atau terdapat Surat Keterangan Bebas (SKB)

yang diterbitkan DJP, di mana potongan pajak menjadi nihil karena fasilitas tertentu.

PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atau Dibebaskan

PER-11/PJ/2025 menegaskan bahwa meskipun PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah melalui

insentif atau dibebaskan karena ketentuan tertentu, pemotong tetap wajib membuat Bupot. Ini

karena Bukti Potong tetap dibutuhkan sebagai dokumen administrasi yang menunjukkan adanya

pembebasan atau penanggung pajak, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari.

Pentingnya Ketertiban Administrasi Bupot

Dengan adanya ketentuan baru ini, DJP menekankan bahwa ketertiban administrasi pembuatan

dan pelaporan Bukti Potong sangat penting, tidak hanya bagi keakuratan pelaporan pajak, tetapi

juga untuk menghindari risiko sanksi administrasi akibat pelaporan yang tidak tepat. Ketertiban

ini juga mendukung integrasi data perpajakan antara pemotong, penerima penghasilan, dan DJP.

Selain itu, dengan adanya dokumen Bupot yang lengkap dan akurat, pemeriksaan atau klarifikasi

yang diperlukan oleh otoritas pajak dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat.